Senin, 09 November 2009

DEMAM TIFOID

BAB I

PENDAHULUAN

Definisi

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi (S. typhi) merupakan bakteri gram negatif berflagel yang bersifat nonsporulasi dan anaerobik fakultatif. Sementara demam paratifoid, penyakit yang gejalanya mirip namun lebih ringan dari demam tifoid disebabkan oleh S. paratyphi grup A, B atau C. Bakteri S. typhi hanya menginfeksi manusia.(1,2,3)


Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S. paratyphi grup A, B dan C. Demam yang disebabkan oleh S. typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi S. paratyphi.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas.


Penularan

Orang biasanya menderita penyakit ini setelah memakan atau meminum makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kotoran (feses) yang mengandung S. typhi. Penularan terjadi melalui saluran cerna dengan tertelannya Salmonella, kemudian bakteri berkolonisasi dan menembus epitel dan menginfeksi folikel limfoid di usus halus (Peyeri Patches).(1,2,3,4) Patogenitas bergantung pada faktor jumlah kuman, keasaman lambung dan virulensi dengan menyebarnya kuman melalui duktus torasikus ke sirkulasi sistemik. Infeksi sistemik dapat melibatkan berbagai organ, termasuk hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, paru, susunan saraf pusat, dan berbagai organ lain. (1,2,5,6)

Epidemiologi

Demam Tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Insiden infeksi Salmonella tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun. Angka kematian lebih tinggi pada bayi, orang tua dan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun (HIV, keganasan).(2,4) Studi terakhir dari Asia Tenggara mendapatkan bahwa insidens tertinggi terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun. Kasus yang berujung pada kematian tidak lebih dari 1%, meskipun demikian, angka ini bervariasi di seluruh dunia. Di Pakistan dan Vietnam, dari pasien yang dirawat di rumah sakit, angkanya kurang dari 2 %, sementara di beberapa area di Papua Nugini dan Indonesia, angkanya bisa mencapai 30-50 %. Hal ini sebagian besar disebabkan karena tertundanya pemberian antibiotik yang tepat. (2)


Gejala Klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.

3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Patofisiologi demam tifoid

Masuknya Salmonella typhi (bakteri paktogen yang mengeluarkan endotoksin), ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunnitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke KGB mesentrika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ RES tubuh terutama hati dan limpa. Hati dan limfa merupakan penghasil leukosit, karena ada gangguan di RES sehingga leukosit sedikit terbentuk. Di organ-organ ini sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi drah lagi menyebabkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala infeksi sistemik. (1,9,10)

Di dalam hati, kuman bisa masuk dan keluar kedalam kandung empedu (bertahan berbulan-bulan/tahun disebut carier), berkembang biak, dan bersama cairan empedu di ekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikelurkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi. . (9)

Mediator inflamasi menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular. Mediator infalamasi bisa menyebar secara hematogen ke paru dan menimbulkan batuk.(1,2,9)

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi. Perforasi usus halus ini tidak menyebabkan rasa sakit karena di usus halus tidak ada saraf nyeri.(9,11)


Diagnosa

1. Amanesis

2. Tanda klinik

3. Laboratorium (13)

1. Leukopenia, eosinofilia (tidak khas)

2. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I (pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III

3. Reaksi widal (+) : titer ≥ 1/160. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalesen titer makin meninggi

4. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S. typhi dengan Tubex TF cukup akurat dengan

5. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M

Penatalaksanaan demam tifoid

v Non medika mentosa: (1,2,3,7,10,12)

1. Rawat inap/bed rest total

Bila curiga dehidrasi, konstipasi, asupan makanan kurang harus segera di rawat inap. Tindakan ini di lakukan supaya menghindari komplikasi.

2. Nutrisi

a. diberikan nasi, tidak perlu diberikan makanan lunak karena dapat memanjakan usus

b. diet rendah serat

c. tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas, karena dapat menyebabkan distensi usus.

d. Makanan cukup kalori dan protein

3. Keseimbangan air dan elektrolit

Berikan air untuk melancarkan BAB yang keras. Hindari pencahar, karena dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna

v Medika mentosa :

1. Antibiotik

Pengobatan etiologi dilakukan dengan pemberian antibiotik. Antibiotik terpilih adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan ½ jam perinfus sekali sehari selama 5 hari. (2,4,12)

2. Antiemetik

Dapat diberikan sesuai dengan gejala pada pasien. Yang bias diberikan misalnya domperidon dengan dosis 10 mg, 3 kali sehari.

3. Rehidrasi

Diberikan infus Ringer laktat + dektrosa 5 %.

v Pemeriksaan penunjang

a. Kultur darah

Dilakukan sebelum pemberian obat, supaya tidak merancukan hasil kulturnya. Kultur merupakan gold standar untuk demam tifoid karena dapat menemukan etiologi pasti. (10,14)

Komplikasi

1. Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus

2. Perforasi usus

3. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintestinal

1. Kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

3. Paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

4. Hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

6. Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

7. Neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

DAFTAR PUSTAKA

  1. Cook GC, Zumla AI, editors. Manson’s Tropical Diseases. In: Jenkins C, Gillespie SH. Salmonella Infections. 22nd ed. China: Sauders Elsevier; 2009. p. 931-7.
  2. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: Widodo D. Demam Tifoid. Volume III. 4th Ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 1752-7.
  3. Braunwald E, Fauchi AS, Kasper DL, Hauser DL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. In: Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis: Typhoid Fever. Volume I. 16th Ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 970-3.
  4. Soedarto. Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika; 1996. p. 43-9.
  5. Arya SC. Typhoid fever. JAMC 2003; 169(2): 132.
  6. Agarwal PK, Gogia A, Gupta RK. Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(1): 60-4.
  7. Brusch JL. Typhoid Fever. Available at http://emedicine.medscape.com/article/ 231135-overview. Accessed on December 3, 2008.
  8. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. p. 604-6.
  9. House D, Bishop A, Parry C, Dougan G, Wain J, House D, et al. Typhoid Fever: Pathogenesis and Disease. Current Opinion in Infectious Diseases 2001; 14(5): 573-8.
  10. Lesmana M. Enterobacteriaceae: Salmonella & Shigella. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2006. p. 49-74.
  11. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ, Parry CM et al. Typhoid Fever. New Eng J of Med 2002; 347(22):1770-82.
  12. Watts HD, editor. Terapi Medik. In: Jawett E. Penyakit Infeksi: Demam Tifoid. 17th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1984. p. 280.
  13. Sacher RA, Mopherson RA. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 11st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. p. 454-5.
  14. Brooks GF, Butel JS, Moerse SA. Mikrobiologi Kedokteran. 23rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. p. 251-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar