PENDAHULUAN
Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sampai awal pelita III yakni tahun 1992, pengobatan dengan kombinasi (MDT) mulai digunakan di Indonesia. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikiari besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara.
DEFINISI
Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung dalam waktu lama, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan saluran pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen.
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang di temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, tahan asam dan alkohol, serta dengan pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram positif (berwarna ungu).
TRANSMISI DAN EPIDEMOLOGI
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
- Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
- Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan, Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
Usia
Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
Kesadaran social
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
Jenis klasifikasi yang umum
- Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi.
- Untuk perencanaan operasional. misalnya menemukan pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.
- Untuk indentifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain (the great imitator). Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejaia yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak rnembuat kesalahan yang merugikan pasien.
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan (tanda kardinal atau tanda utama) yaitu :
Bercak hipopigmetasi atau eritematosa. mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa (raba, rasa suhu, dan rasa nyeri).
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa uiang setelah 3-6 bulan sarnpai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif
2. Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologis dapat membantu. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan tipe yang tepat.
3. Pemeriksaan serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M. leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah :
· Test ELISA
· Test MLPA untuk mengukur kadar antibodi Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien, titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif.
Penatalaksanaan
1. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a. Tipe PB (Pausibasiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
· Rifampisin 600mg/bln
· DDS tablet 100 mg/hari
Pengobatan diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB ( Multibasiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
· Rifampisin 600mg/bln
· Klofazimin 300mg/bln dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
· DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c. Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun :
· Bulanan 100mg/bln
· Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun
· Bulanan 100mg/bln
· Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg B
b. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif.
c. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya
2. Perawatan umum
Perawatan pada kusta umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral. Seperti halnya penyakit lain, cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila Diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan semenjak dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan.
a. Perawatan tangan yang mati rasa
· Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
· Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
· Keadaan basah diolesi minyak
· Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
· Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
· Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
b. Perawatan kaki yang mati rasa
· Penderita memeriksa kaki tiap hari
· Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
· Masih basah diolesi minyak
· Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
· Jari-jari bengkok diurut lurus
c. Perawatan luka
· Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
· Luka dibalut agar bersih
· Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
· Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat kusta adalah:
- Impairment:
Segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.
- Dissability:
Segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri.
- Handicap:
Kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.
- Deformity
- Dehabilitation:
Keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya.
- Destitution:
Dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).
Jenis Cacat Kusta
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua klompok, yaitu:
- Cacat primer, ialah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman kusta.
- Cacat sekunder, cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Pencegahan Cacat Pada Kusta
Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya. Di samping itu perlu mengubah pandangan yang salah dari masyarakat, antara lain bahwa kusta identik dengan deformitas atau disability.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
- Untuk Upaya pencegahan cacat primer, meliputi:
- Diagnosis dini
- Pengobatan secara teratur dan akurat
- Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
- Upaya pencegahan sekunder, meliputi:
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
- Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
- Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.
Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah:
- Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
- Pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca mata, sarung tangan, sepatu, dll)
- Pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam dan kasar)
- Pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku
Penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
- Cook GC, Zumla AI, editors. Manson’s Tropical Diseases. In: Withington SG. Leprosy. 22nd ed. China: Sauders Elsevier; 2009. p. 1053-73.
- Braunwald E, Fauchi AS, Kasper DL, Hauser DL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. In: Gelber RH. Leprosy. Volume I. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p. 1035-40.
- Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. In: Kosasih A, Wisnu IM, Syamsoe-Daili E, Menaldi SL.. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 73-88.
- WHO. Leprosy Today. Available at http://www.who.int/lep/. Accessed on December 12, 2008.
- Lewis FS. Leprosy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview. Accessed on July 18, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar