Senin, 09 November 2009

MENINGITIS TUBERKULOSA

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Sampai saat ini tuberculosis masih merupakan masalah besar di Indonesia maupun negara berkembang lainnya, dan dapat menimbulkan beberapa komplikasi. Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu komplikasi dari tuberculosis, yang mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi, dengan prognosis buruk. Walaupun pengobatan saat ini telah maju, gejala sisa dari meningitis tuberkulosa masih sering ditemukan, dan mortalitasnya masih cukup tinggi. Penyakit ini masih banyak ditemukan di Indonesia dan insidensnya sebanding dengan insidens tuberculosis itu sendiri.

DEFINISI

Meningitis tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberculosis primer.

EPIDEMIOLOGI

Insidens meningitis tuberkulosa sangat bervariasi dan bergantung kepada tingkat sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta factor genetic yang menentukan respon imun seseorang. Sejak tahun 1930-1953, Koch dan Carson menemukan 23 % kasus meningitis tuberkulosa dari 248 kasus meningitis bacterial. Menurut Auerbach, insidens meningitis tuberkulosa sebanyak 42,2 % dari 97 anak yang meninggal karena tuberculosis.

Di Indonesia, meningitis tuberkulosa masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberculosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.

Di Inggris pada tahun 1978-1979, insidens meningitis tuberkulosa sekitar 12%, sedangkan penelitian menemukan sekitar 7-12%. Penyakit ini dapat menyerang semua umur tetapi jarang ditemukan pada usia di bawah 6 bulan dan hamper tidak pernah pada usia di bawah 3 bulan, insidens tertinggi pada usia 6 bulan-6 tahun, peneliti lain ada yang menemukan insidens tertinggi pada usia 6-24 bulan. Peneliti Eropa menemukan insidens tertinggi pada musim semi, yaitu antara bulan April sampai Juni. Infeksi morbili dan pertusis serta trauma kepala sering mendahului timbulnya meningitis tuberkulosa.


PATOGENESIS MENINGITIS TUBERKULOSA

Meningitis tuberkulosa biasanya berasal dari pembentukan lesi pengkejuan metastatic didalam korteks serebri atau meningens yang berkembangselama penyebaran limfohematogen infeksi primer. Lesi awal ini bertambah besar dan mengeluarkan basil tuberkel ke dalam ruang subarachnoid. Hasilnya berupa eksudat gelatin yang dapat menginfiltrasi pembuluh darah kortikomeningeal, menimbulkan radang, obstruksi dan selanjudnya infark serebri..

Hal yang sederhana dari proses ini dapat dicontohkan sebagai berikut, misal pada infeksi saluran napas, maka bakteri awalnya akan membentuk sebuh koloni, kemudian bergerak menembus membran mukosa dan masuk ke dalam aliran darah, akhirnya menembus sawar otak dan masuk ke meningens, sehingga mulai membentuk koloni di sana. Masing-masing bakteri memiliki virulensi yang berbeda-beda, karena bagaimana pun juga tidak mudah bagi bakteri untuk mencapai tempat yang begitu terlindung ini

Patofisiologi mengitis cukup kompleks, Pertama bakteri akan memasuki selaput otak melalui sawar otak (blood-brain Barrier) pada tempat-tempat yang lemah seperti pada area mikrovaskular, kemudian menempatkan diri pada daerah-daerah yang kaya dengan gula pada ruang subarachnoid (inilah satu penyebab saat pemeriksaan CSF kita dapat menemukan kadar gula yang lebih rendah dari normal). Pada saat bakteri berkembang biak atau mati, komponen-komponen endotelnya akan merangsang sistem pertahanan. Pada bakteri gram positif akan melepaskan asam tekinoat, dan bakteri gram negatif akan melepaskan lipolisakarida atau endotoksin, yang kita harus waspadai adalah bakteri gram negatif pada pemberian antibiotik dosis tinggi akan terjadi kematian yang masal, dan pelepasan endotoksin yang masif di dalam tubuh sehingga gejala-gejala memburuk akan terlihat semakin parah dengan cepat. Pelepasan komponen endotel ini akan memicu sel astrosit dan mikroglia mengaktifkan sistem pertahan baik secara endotel maupun sistem makrofag. Sistem endotel akan merangsang IL-1 (interleukin 1) yang menimbulkan mekanisme leukosit-endotel yang menyebabkan kerusakan vaskuler, selain itu juga memicu PGE2 (prostaglandin E2) yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak. Pada sistem makrofag dilepaskan IL-1 dan TNF (tumor necrosis factor), yang juga menimbulkan mekanisme leukosit-endotel, selain itu juga memicu PAF (platelet activating factor). Kemudian baik PAF maupun nekrosis vaskuler akan menghasilkan trombosis melalui kaskadenya, dan menyebabkan CBF (cerbral blood flow) menurun.

Kembali pada proses peradangan, di sini akan ditimbulkan apa yang disebut sebagai SIADH (Syndrome of inapropriate diuretic hormone), di mana terdapat oligouria dan penahan cairan dalam ruang subarachnoid (hipervolumea) bahkan pada keadaan hiposmoler sekalipun. Hal ini akan menimbulkan peningkatan TIK (tekanan intrakranial) yang pada anak dengan fontanela mayor (ubun-ubun besar) belum tertutup dengan sempurna bisa ditemukan pencembungan, dan timbul suatu bentuk water intoxication yang menimbulkan penampakan klinis berupa letargi, mual dan muntah.

Peningkatan permeabilitas sawar otak menyebabkan masuknya protein lebih banyak ke dalam ruang subarachnoid, dan menahan lebih banyak air, inilah mengapa dalam pemeriksaan CSF dapat ditemukan peningkatan jumlah protein.

Penurunan aliran darah otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak, keadaan ini menyebabkan suatu hipoksia, sehingga metabolisme berubah dari sistem aerob menjadi anaerob, dan pemakaian gula darah menjadi lebih banyak digunakan dan penghasilan asam laktat yang meningkat, keadaan ini dikenal sebagai Ensefalopati toksik, terkadang jika kondisi ini dapat ditegakkan maka diagnosisnya akan menjadi meningoensefalitis. Peradangan pada selaput otak sendiri akan memberikan sarangan pada saraf sensoris sehingga menimbulkan refleks-refleks yang khas yang dikenal sebagai tanda meningeal, seperti kaku kuduk, tanda burdzinki dan kernig; namun pada neonatus tanda ini tidak spesifik timbul, oleh karena sistem mielinisasi yang belum sempurna. Jika mengenai nerve roots maka akan timbul tanda-tanda seperti hiperestesi dan fotofobia.

Pada awalnya, proses inflamasi melibatkan sebagian besar dominasi sel-sel polimorfonuklear, selanjutnya secara bertahap digantikan oleh sel-sel lain seperti histiosit dan monosit, prosesnya kemudian menghasilkan komponen-komponen fibrinogen yang tersebar pada ruang subarachnoid, dan sebagian terkumpul pada tempat yang konveks dimana keluarnya CSF seperti pada sisterna basalis. Saat mulai adanya fibroblast pada ruang subarachnoid, kemudian mengubah komponen fibrinogen menjadi serat-serat fibrin yang melekat di berbagai tempat. Jika tempat perlekatan ini terjadi pada sisterna basalis maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan, ketika perlekatan ini terjadi pada aquaductus sylvii, foramen luscha atau magendi maka timbul hidrosefalus obstruktif. Dalam 48 hingga 72 jam, arteri subarachnoid akan membengkak dan terjadi infiltrasi neutrofil ke dalam lapiran adventisia, menimbulkan nekrosis fokal (perlukaan vasa), dan memicu kaskade trombosis, hal ini bisa menimbulkan penyumbatan vasa dan menimbulkan infark fokal dan menimbulkan gejala-gejala infark seperti salah satu yang khas adalah kejang.


PATOLOGI

Gambaran patologi pada meningitis tuberkulosa ada 4 tipe, yaitu:

1. Disseminated military tubercles, seperti pada tuberculosis miler

2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang difus

3. Acute inflammatory caseous meningitis

i. Terlokalisasi, disertai perkejuan dari tuberkel, biasanya di korteks

ii. Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subaraknoid

4. Meningitis proliferatif

i. Terlokalisasi, pada selaput otak

ii. Difus dengan gambaran tidak jelas

Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah basil juga merupakan factor yang mempengaruhi.

MANIFESTASI KLINIK

Secara klinis kadang-kadang belum timbul gejala meningitis yang jelas, walaupun selaput otak sudah terkena. Manifestasi klinis yang timbul berkaitan dengan kelainan patologis yan terjadi, yaitu:

  1. Eksudat tipis di dasar otak bisa menyebabkan paralysis saraf cranial dan hidrosefalus
  2. Vaskulitis dan oklusi pembuluh darah akan menimbulkan tanda neurologist fokal
  3. Reaksi alergi terhadap tuberkuloprotein menyebabkan perubahan cairan serebrospinal
  4. Edema pada otak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kejang, dan peningkatan tekanan intracranial
  5. Adanya tuberkuloma akan menimbulkan gejala proses desak ruang

Pada fase awal belum timbul manifestasi neurologist, biasanya gejalanya tidak khas dan timbul perlahan-lahan dan berlangsung kira-kira 2 minggu sebelum timbul tanda-tanda rangsang meningeal. Gejala berupa rasa lemah, kenaikan suhu yang ringan, anoreksia, tidak mau bermain-main, tidurnya terganggu, mual, muntah, sakit kepala, dan apatik. Pada bayi, iritabel dan ubun-ubun besar menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan, sedang pada anak yang lebih besar, mungkin tanpa demam dan timbul kejang yang intermitten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%. Kadang-kadang tanda kenaikan tekanan intracranial timbul, mendahului tanda rangsang meningeal. Stadium ini berlangsung selama 1-3 minggu dan bila tuberkelnya pecah langsung ke dalam ruang subaraknoid, maka fase ini berlangsung singkat dan langsung ke stadium III.

Fase selanjutnya disebut stadium meningitis, yang ditandai dengan memberatnya penyakit. Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak sehingga sakit kepala dan muntah menjadi keluhan utamanya. Pasien muntah dan sakit kepala terus-menerus, menjadi mudah terangsang dan drowsiness dan disorientasi. Pada anak dibawah usia 3 tahun iritabeldan muntah adalah segalanya, sedang sakit kepala jarang dikeluhkan; sebaliknya pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadaran semakin menurun. Pada fase ini eksudat yang organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf cranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran dan papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan tanda gangguan fokal, saraf cranial dan kadang-kadang medulla spinalis.

Mungkin timbul kelemahan otot, kehilangan sensori, dan bahkan pergerakan involunter seperti hemibalismus atau hemikorea serta kejang yang dapat timbul pada setiap fase penyakit. Hemiparesis mungkin timbul pada stadium ini, biasanya disebabkan iskemia atau infark. Quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat, sedang monoparesis jarang ditemukan dan biasanya disebabkan lesi pembuluh darah.

Kaku kuduk yang timbulnya bertahap, tanda Kernig, dan Brudzinski sering ditemukan pada fase ini kecuali pada bayi. Kelumpuhan saraf cranial terjadi sekitar 20-30 % dan mula-mula unilateral kemudian menjadi bilateral. Paling sering mengenai saraf cranial VI, kemudian saraf cranial III dan IV, yang memberi gejala strabismus dan diplopia, sedang saraf cranial VII jarang terkena, demikian juga saraf cranial yang lain, meskipun keterlibatan saraf cranial II dapat menyebabkan atrofi dan kebutaan. Gangguan pendengaran terjadi akibat keterlibatan saraf VIII.

Tanda peningkatan tekanan intracranial menjadi lebih jelas, yaitu pembesaran kepala dan penonjolan ubun-ubun besar pada bayi serta papiledema pada anak yang lebih besar; gejala-gejala hidrosefalus juga lebih jelas, yaitu berupa sakit kepala, diplopia dan penglihatan kabur. Pada stadium selanjutnya sesuai dengan berlanjutnya proses penyakit, maka gangguan fungsi otak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran menurun, iritabel dan apatik, mengantuk, stupor dan koma atau koma menjadi lebih dalam, otot ekstensor, menjadi kaku dan spasme sehingga seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus, oleh karena dekortikasi atau deserebrasi. Stadium ini berlangsung kira-kira 2-3 minggu. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur, timbul hiperpireksia dan akhirnya pasien meninggal. Timbulnya gambaran klinis gangguan fungsi batang otak ini disebabkan karena infark pada batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.

Meningitis tuberkulosa terbagi menjadi 3 stadium, tiap stadium berakhir kira-kira dalam satu minggu. Stadium pertama atau stadium prodromal dengan gejala demam, sakit perut, nausea, muntah, apatik, atau iritabel, tetapi kelainan neurologist belum ada. Stadium kedua atau stadium transisi, pasien menjadi tidak sadar, sopor, kelainan neurologis/paresis, tanda Kernig, dan Brudzinski menjadi positif, refleks abdomen hilang, timbul klonus ankle dan patella. Saraf otak yang biasanya terkena III, IV, dan VI. Tuberkel di koroid terdapat pada 10 % pasien. Stadium ketiga pasien dalam keadaan koma, pupil tidak bereaksi, kadang-kadang timbul spasme klonik pada ekstremitas, pernapasan tidak teratur, demam tinggi; hidrosefalus terjadi kira-kira dua pertiga pasien, terutama yang penyakitnya berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat.

DIAGNOSIS

Ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting adalah gambaran cairan serebrospinal. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberculosis dalam cairan otak. Uji tuberculin yang positif, kelainan radioogis yang tampak pada foto thoraks dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnisis. Uji tuberculin pada meningitis tuberkulosa sering negative karena anergi, terutama dalam stadium terminalis.

KOMPLIKASI

Dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Dapat terjadi cacat neurologist berupa paresis, paralysis sampai deserebrasi, hidrosefalus akibat sumbatan, reasorbsi berkurang atau produksi berlebihan dari likuor serebrospinalis. Anak juga dapat menjadi buta atau tuli dan kadang-kadang timbul retardasi mental.

PENGOBATAN

Pengobatan meningitis tuberkulosa harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan peningktan tekanan intrakranial. Pengobatan biasanya terdiri dari kombinasi INH, rifampisin dan pyrazinamide, kalau berat dapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Pengobatan minimal 9 bulan, dapat lebih lama. Pemberian kortikosteroid sebagai anti inflamasi, menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Pemberian kortikosteroid selama 2-3 minggu kemudian diturunkan secara bertahap sampai lama pemberian 1 bulan. Ada yang memberikan sampai dengan 3 bulan.

Hidrosefalus diobati dengan pemasangan pirau ventrikulo-peritaneal oleh ahli bedah saraf. INH bersifat bakteriosid dan bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20 mg/kg BB / hari maksimum 300 mg/hari secara oral. Pemberian minimall selama 1 tahun. Komplikasi penggunaan INH berupa neuropati perifer, dan dapat dicegah dengan pemberian piridoksin 20-50 mg/hari. Pemberian piridoksin pada bayi dan anak tidak begitu perlu, yang perlu pada adolesens. Apabila INH diberikan bersa-sama dengan rifampisin kejadian hepatotoksik meningkat tertuama apabila dosis melebihi 10 mg/kg BB/ hari.

Rifampisin bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari secara oral sebelum makan, diberikan selama minimal 9 bulan. Rifampisin menyebabkan urin pasien berwarna merah. Edek samping berupa hepatitis, kelainan gastrointestinal, dan trombositopenia. Pirazinamide (PZA) bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari atau 50-70 mg/kgBB dua kali seminggu dengan dibagi dalam 2-3 dosis, diberikan selama 2 bulan secara oral. Ethambutol bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 50 mg/kgBB dua kali seminggu secara oral selama minimal 9 bulan. Pada anak usia muda dapat terjadi neuritis optika atau atrofi optik, sehingga diberikan pada anak diatas 5 tahun. Streptomisin bersifat bakteriosid diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB/hari. Efek samping berupa gangguan vestibular atau auditori, tetapi lebih sering gangguan keseimbangan.

PROGNOSIS

Pasien meningitis tuberkulosa yang tidak diobati biasanya meninggal dunia. Prognosis tergantung kepada faktor stadium penyakit saat pengobatan dimulai dan umur pasien. Pasien yang berumur lebih muda dari 3 tahun mempunyai prognosis lebih buruk daripada yang lebih tua.

Hanya 18% dari yang hidup mempunyai neurologis dan intelek normal. Gejala sisa neurologis yang terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Komplikasi pada mata berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gejala sisa neurologis minor berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi dan spastisitas.

Gangguan intelektual terjadi kira-kira pada dua pertiga pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira sepertiga pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin


DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. EGC, Jakarta.

2. Markum. AN. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I BCS. IKA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatric.17th ed. Philadelphia: WB Suders company;2003.p.566-8.Wandita S

4. Matondang CS, Wahidayat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis pada Anak. 2nd Ed. Jakarta : Sagung Seto ; 2007. p.g. 4-46; 70-4; 166-7

5. Soedjatmiko. Bagaimana Usaha Kita Agar Bayi dan Balita Tumbuh Kembang Secara Optimal. Available : http://www.idai.or.id/hottopics/detil.asp?q=57

1. http://www.mayoclinic.com/meningoensefalitis/php.?=7398

7. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates; 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar